Oleh: Yohan Indrawijaya, penulis cerita nggedabruz
Setelah ngaji kitab, maka Kyai AL JON berkata:
“Ayo kita nonton wayang “
Para santri yang habis mendengarkan pengajian pun keheranan, tumben pak Kyai mengajak para santri untuk menonton wayang. Menonton wayang adalah hiburan untuk orang-orang luar pesantren Kyai Al-Jon, seperti para petani dan para buruh. Mereka para santri yang rata-rata pemuda dan remaja saling berhadap – hadapan keheranan. Akan tetapi karena mereka adalah kaum santri yang dituntut untuk menjaga adab dan takdim, maka mereka ya mau saja. Toh menonton wayang pada era 60-an adalah satu hiburan idola. Belum ada listrik di desa. Belum ada telepon di desa. Belum ada internet.Apalagi telepon genggam.
PERJALANAN INI AKAN MENGURAS TENAGA
“Njjih ( siap ) Yi” serentak mereka menjawab
“Yang sakit jangan ikut, karena perjalanan ini menguras tenaga. Kita jalan kaki” kata pak Kyai.
Salah satu santri, sebut saja INDRA, mengacungkan jarinya dengan takut – takut.
“Nuwun Sewu Yai, kaki saya sakit. Tadi saya jatuh di jeding musholla. Terkilir Yi. Saya sulit berjalan” kata Indra sambil meringis. Nampak dari tadi hanya Indra yang mengaji sambil selonjor kaki.
“Baiklah muridku semua. Aku bagi kalian menjadi 5 kelompok menurut usia kalian. Ketua kelompok saya tunjuk si Fulan, Fulan, Fulan, Anu dan Anu.
Akhirnya 5 kepala regu itu berdiskusi dan terbentuklah kelompok perjalanan ini.
Seorang santri dari kota sempat berbisik kepada kepala regunya, yang merupakan teman bermainnya, bab dimana lokasi wayangnya? Bukannya dari siang tadi tidak terdengar suara corong TOA ( spiker masjid ) di desa sebelah. Pada era 60-an, bunyi spiker corong TOA mampu terdengar dengar sayup – sayup pada jarak hingga 10 kilometer karena tingkat kebisingan sangat rendah pada saat itu.
LHA KUWI AKU JUGA ORA RETI
“Kang, kita nonton wayang kemana kang?” Dul bertanya kepada kang Marjalan
“Nggak tau Dul. Aku juga baru reti ini tadi”
“Lha iyo itu. Dari siang tadi aku ndak ndengerin suara uyon – uyon je. Mosok kita ini nanti jalan jauh kang?”
“Lha kuwi aku juga ora reti Dul” kata kang Marjalan.
“Woi cah! Ayo podho nggowo oncor-e ( hai teman-teman, ayo dibawa obor masing – masing)” kata kang Nahruji sang kepala regu tertua dan termasuk asisten ustad di ponpes pak Kyai in kepada para santri peserta.
“Njjih kang” serentak para santri menjawab sembari menganggukkan kepala tanda takdim.
Tidak seberapa lama, halaman ndalem pak Yai nampak terang berwarna semu merah kuning terkena terang dari cahaya obor. Saat itu belum ada listrik.Belum ada TV. Ada pesawat radio menggunakan AKI tapi cuman berisi RRI, siaran Ostrali, Suara Amerika dan BBC London saja yang bisa didengar. Masih SW belum AM apalagi FM.
“He santri kabeh. Tak wenehi ijazah amalan mlaku ben cepet lan ora kesel dene koyo mujahid perang Badar. Ora oleh di tulis. Cukup tak talkin, tiruen, ilingen, terus rapalen yo Lee” kata mbah Kyai
( Wahai muridku semua, kamu semua kuberi ijazah amalan ilmu jalan cepat dan tidak capek seperti para pejuang perang Badar. Tidak boleh ditulis, cukup kupandu baca,ikuti baca, kalian ingat-ingat, selanjutnya bacakan ulang ya nak)
“Njjih Yi” serentak para pembawa oncor itu menjawab
“BISMILLAH TEGUH” seru mbah yai
“BISMILLAH TEGUH” santri menjawab
“BISMILLAH KUWAT” seru mbah yai
“BISMILLAH KUWAT” santri menjawab
“……..( tidak boleh diketik disini)…”
“……….LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAHIL ALIYYIL ADZHIIM”…..
Dan seterusnya dan seterusnya hingga kalimat terakhir.
Selanjutnya satu persatu santri maju ke hadapan pak kyai untuk membaca ulang kalimat yang telah dihafal oleh para santri tadi. Setiap hapalan yang benar, pak Kyai mengusap ubun-ubun santri dan mengatakan
“BAAROKALLAAH”
( ALLAH memberkati)
, selanjutnya santri mundur untuk diganti dengan santri lainnya. Sampai selesai.
SAWAH TANPA SUARA KODOK
Selanjutnya rombongan berangkat. Pak Kyai paling depan. Belakangnya adalah asisten Kyai , yakni Kang Nahruji dan regu – regu dibelakangnya bergerombolan.
Kyai berangkat tanpa kata dan bicara, sehingga para santri juga tidak ada yang berani berbicara. Semua terdiam. Bahkan berbisikpun tidak ada yang berani.
Perjalanan hingga sampai ditepi kali sebut saja Kali Manten. Tidak ada jembatan. Pak Kyai dan rombongan harus menyeberang kali menjinjing sarung sambil membawa obor.
Sampai diseberang sungai, pak Kyai menghitung lagi jumlah santrinya. Masih utuh.
Perjalanan saat ini melintasi persawahan yang cukup luas. Rombongan melewati pematang sawah satu persatu. Nampak seperti ular bercahaya jika dilihat dari seberang jauh tepian sawah.
Hingga pada suatu pematang yang panjang, pak kyai memberi isyarat kepada murid – muridnya untuk mematikan obor.
“He santri. Patenono oncor e ( matikan obornya) ” Kata pak Kyai. Pesan ini disampaikan secara berantai dari depan hingga belakang.
Satu persatu para santri mematikan obornya. Seketika suasana menjadi gelap. Anehnya tidak ada suara kodok yang bersaut-sautan atau kodok ngerik dimalam ini yang membikin santri bertanya – tanya kenapa ini?
Saat itu awan sedang mendung. Tidak ada cahaya bintang. Tidak ada cahaya bulan. Gelap sekali di tengah pematang sawah. Pak Kyai malah menyuruh mematikan obor? Ada apa ini?
Satu persatu santri maju melangkah di pematang sawah yang panjang. Mereka berjalan pelan – pelan takut terjatuh. Untung saja nampak dimata mereka pematang sawah ini seperti agak mengkilat. Mungkin tanah lumpur sawah yang barusan dipopok oleh pak tani tadi pagi dan mengering malam ini.
ADA APA? ORA WERUH
Ketika pak Kyai berada di ujung pematang dan barisan masih di atas pematang, barisan terhenti. Mereka saling bertanya dengan berbisik – bisik “ Ada apa?” sementara teman temannya juga menjawab ”ora weruh” ( tidak tahu ).
Karena pematang berukuran kecil dan rombongan telah berdiri diatas pematang kecil memanjang ini, tentu saja dirasakan oleh para santri kalau galengan ( pematang sawah ) ini bergoyang – goyang. Para santri harus menyesuaikan diri supaya tidak terjatuh dari pematang.
“Galengan-e obah-obah Dul ( Pematangnya bergerak –gerak )” bisik Marmoyo kepada si Dul. Mungkin agak takut.
Cukup lama rombongan ini berdiri diatas pematang sawah. Tidak ada satupun santri yang berani berontak untuk bertanya kepada pak Kyai yang berada di ujung galengan. Gelap sekali.
Tidak seberapa lama ada sebuah kode dari depan kalau rombongan boleh berjalan lagi tapi tanpa obor. Rombongan berjalan lagi.
Selanjutnya mereka tiba ditepi hutan lindung. Diceritakan bahwa pada era 60-an di daerah ini sudah tidak ada hutan besar. Yang ada hanya hutan lindung kecil milik Kehutanan. Walau hutan ini kecil tapi sangat lebat dan gelap. Konon banyak kidang, luwak dan garangan didalam hutan lindung ini.
Pak Kyai meminta para santri untuk menyalakan obor untuk masuk hutan. Satu persatu para santri menyalakan api obor dari depan hingga belakang secara berantai. Obor yang menyala didepan dipakai untuk menyulut obor yang dibelakangnya dan seterusnya.
HUTAN TANPA SUARA HEWAN MALAM
Selama masuk ke hutan, yang ada hanya gelap saja. Tidak nampak kelebat hewan malam atau suara hewan malam seperti jangkrik dan kodok. Diam. Senyap. Sepi. Seram. Akan tetapi santri pasrah saja mengikuti perjalanan sang Kyai untuk menonton wayang.
Terhitung rombongan ini menyeberangi sungai dangkal berbatu beberapa kali di dalam hutan ini.
Tidak seberapa lama, rombongan telah keluar dari hutan. Nampak dikejauhan sayup – sayup terdengar suara gending pertanda ada pertunjukan wayang. Para santri merasa lega. Sebentar lagi akan sampai ke lokasi acara pertunjukan wayang.
Rombongan bergerak mendekati suara gendingan khas Jawa. Semakin mendekat hingga ditepian sungai. Lagi – lagi rombongan harus menyeberang Sungai.
SOSOK BERJUBAH DISEBERANG SUNGAI
Diseberang Sungai, nampak seorang Pria berjubah Putih ala Pangeran Diponegoro menunggu. Para santri terheran heran, diremang – remang malan cahaya obor, kenapa baju kyai yang diseberang jalan nampak bercahaya terang? Akan tetapi para santri tidak begitu jelas dengan wajah pria diseberang sungai. Hanya nampak kelebat putih berdiri diseberang sungai.
Kyai AL JON memulai menyeberang dan diikuti para santri. Menuju ke sosok berbaju putih. Kyai bersalaman dan saling memeluk sosok putih itu. Seperti saling kenal. Rupanya pak Kyai meminta para santrinya untuk salim kepada kyai yang satu ini yang kemungkinan adalah temannya. Satu persatu par santri mencium tangan sosok misterius ini.
“Tangan e pak Kyai kuwi wangi kang” kata Marwoto kepada Marmoyo.
“Iyo Mar. Tangan e adem lembut. Ora koyok tanganmu. Kapalen” kata Marmoyo kepada Marwoto
( Iya , Mar. Tangannya dingin lembut tidak seperti tanganmu, tebal sekali)
“Sopo kyai kuwi kang?”
“Nggak tahu. Berani nggak nanya ke Kyai?”
Setelah menunggu pak Kyai ini berbicara dengan sosok berbaju putih ini, maka pak Kyai pamitan dan melambaikan tangannya kepada para santri. Para santri mengangguk dan membungkukkan kepala tanda takdim kepada teman pak Kyai ini.
BAMBU PETUNG 20 METER UNTUK CORONG TOA
Selanjutnya rombongan semakin mendekat ke lokasi. Suara semakin keras. Nampak corong spiker TOA bertengger diatas bambu petung yang tingginya sekitar 20 meter. Tinggi dan lantang sekali.
Rombongan yang telah tiba dilokasi acara ini meletakkan obor mereka di langgar / surau / musholla di dekat acara wayangan ini. Sambil melepas lelah, nampak pak Kyai memberi lembaran uang kepada kang Nahruji. Rupanya kang Nahruji melanjutkan dengan memberikan uang itu ke ketua regu masing masing dan mengatakan sesuatu.
Tidak seberapa lama, ketua regu membawakan jajan / kue ringan untuk anggota rombongan. Tidak ada gelas atau botol aqua. Pada saat itu kalau haus ya harus minum air sumur.
“Dawuh e pak kyai ora oleh misah teko gerumbulan e men ra ilang ( Pak Kyai bilang: jangan memisahkan diri dari rombongan biar tidak hilang) ” kata masing masing ketua regu kepada anggotanya
Malam semakin larut. Perhelatan wayang telah dimulai. Suara pak dalang lantang terdengar dibantu oleh mikrophone. Tidak ada campursari, Tidak ada Koploan. Tidak ada guyon lawak. Masih orisinil disini.
Babak demi babak di bawakan. Dan yang ditunggu oleh para santri maupun warga adalah bab GORO-GORO, yakni episode para punakawan berkumpul untuk berbicara, bercanda dan mengadu kepada bapak semar. Pada episode ini banyak hal yang bisa diambil diantara ucapan – ucapan ki Dalang. Para santri murid Kyai AL JON ikut tertawa dengan lelucon yang dibawakan oleh ki Dalang. Pak Kyai nampak tersenyum melihat para santrinya sumringah terhibur oleh kelucuan ki Dalang.
Entah karena apa, setelah episode goro – goro selesai dan berganti babak yang mulai genting dan mulai asyik untuk diikuti, tiba – tiba pak Kyai bangkit dan mengajak para santri untuk pulang
WAKTUNYA PULANG
“Wes kate shubuh Le. Ayo subuhan nang langgar e dewe ( sudah menjelang subuh nak, ayo sholat shubuh di musholla pondok kita sendiri) “ kata pak Kyai
Tentu saja tidak semua santri iklas dengan ajakan pulang pak Kyai. Sudah capek – capek berangkat, eeh cuman nonton Semar-Petruk-Gareng-Bagong doang….Nampak beberapa santri ada yang agak kesal dengan ini. Tapi mereka takut protes kepada pak Kyai.
Di langgar tempat mereka menitipkan obor, nampak ada satu obor yang belum dipegang oleh pemiliknya. Semua terheran – heran, siapa pemilik obor ini? Setelah ditelusuri, ternyata ini obor milik DUL, anak kota yang sedang asyik nonton wayang hingga keberatan untuk pulang ke pondok.
“Ji, ini kasihkan ke santri anak kota itu, suruh pulang naik kendaraan saja besok pagi. Ketemu kita di pondok pesantren” kata Kyai kepada kang Nahruji.
“Njjih Yi” Kata kang Nahruji seraya menerima uang dari pak Kyai. Selanjutnya kang Nahruji mencari DUL untuk diberi uang guna pulang sendiri.
“Ini uang saku dari romo yai. Kamu ini nakal. Berangkat bersama – sama pulangnya kok pulang sendiri. Lain kali jangan gitu DUL. Harus tetap dijaga kekompakan santri” kata kang Nahruji
“Waduh kang, ini lagi seru kang. Nantilah kalao habis buyaran pagi nanti aku numpak montor ke pondok yo kang” kata DUL
“Yo sudah sekarepmu ( terserah kamu )”
Rombongan bergerak pergi meninggalkan acara wayang dan meninggalkan DUL yang asik dengan tontonannya.
SAMIKNA WA ATOKNA
Rombongan harus kembali melewati banyak sungai, hutan lindung yang sangat gelap dan aneh, persawahan, pematang sawah yang panjang dan rapuh (karena bergerak – gerak kalau diinjak ). Tapi mereka diam saja tanpa komen tanpa komplain kepada pak Kyai. Dalam hati mereka hanya ada istilah “samikna wa atokna” ( kami mendengar dan kami mematuhi ) kepada pak Kyai nya.
Berbeda dengan DUL, santri dari kota ini. Ia asyik dengan dirinya sendiri.
“Ben wae cah- cah mulih aku tak nonton sampe buyar ( biarkan saja mereka teman teman santri pulang,aku biar nonton sampai selesai saja )” DUL membathin.
Ketika acara buyar, maka sudah masuk bakda shubuh. Karena capek, DUL tertidur dan melewatkan kewajiban sholat shubuh. Dia terbangun jam 9 pagi. Dia tertidur dibawah pohon beringin di batas desa.
Setelah mencuci muka dan mencari jalan besar aspal, dia bertanya kepada warung disekitaran situ.
“Permisi bude, mau nanya. Jalan ke desa Lumbang kemana ya?”
“Lumbang? Lumbang mana dik?”
“Lumbangsari. Pondok Kyai AL JON”
“Disini kami belum pernah dengar kyai AL JON. Pondokan mana dik?” tanya ibu warung
“Lho. Kyai AL JON diseberang hutan situ lho bu”
“Seberang hutan? Itu tidak ada desa lagi dik. Disitu Cuma alas gung liwang-liwung”
DUL kaget. Seingat dia, rombongan tadi malam lewat hutan lindung terus menyeberang sungai terus ke desa ini. Tapi kenapa ibu pemilik warung mengatakan kalau tidak ada desa lagi?
“Lho sampeyan ini dari mana dik?” tanya ibu warung
SEMALAM SAYA NONTON WAYANG DI DESA SINI
“Semalam saya nonton wayang di desa sini, bu. Habis itu rombongan harus pulang sebelum acara selesai, tapi saya meneruskan nonton wayang sampai selesai. Jadinya saya tertinggal dan sekarang saya harus pulang ke pondok. Nanti pak Kyai marah kalau saya tidak segera kembali”
“Wayang? Wayang dimana dik?” tanya ibu pemilik warung heran
“Lho. Tadi malam kan ada wayang. Saya menonton kok. Setelah selesai wayang saya ketiduran. Dan ini saya mau pulang”
“Semalam tidak ada wayang lho dik” kata ibu warung heran
Nampaknya pembicaraan itu menarik perhatian seorang laki-laki tua yang mendengar percakapan DUL dengan ibu warung itu.
“Ada apa bu, kok ribut-ribut” tanya laki-laki itu ke ibu warung
“Ini lho pak. Ada adik santri ini menanyakan jalan ke Lumbang. Pondoknya kyai AL JON. Saya nggak kenal nama itu”
“Kyai AL JON ada di daerah Malang, Bululawang” kata pria itu. Sepertinya kenal.
“Aaah nggih pak. Leres” kata DUL membenarkan
“Adik ini mau kemana?”
“Njjih pak. Saya mau pulang. Mau nanya tumpangan ke Lumbang. Saya dari kota” kata DUL pede.
“Pulang ke Malang?”
“Lho, ke pondokan saya, di Lumbang itu”
“Ooo jadi sampeyan santri nya Yai AL JON?”
“Tepat”
KOK BISA NYAMPAI SINI?
“Kok bisa nyampai disini? Diutus sama Kyai Al JON ya?”
“Oh tidak pak. Semalam kami nonton wayang disini. Saya pamit kari ( tertinggal )”
“Semalam di sini tidak ada wayang lho dik” kata pria itu
“Iya pak. Adik itu gak percaya kalau tidak ada wayang disini” kata ibu warung sedikit sewot
“Yang ada pertunjukan wayang itu di kecamatan sebelah, dik” kata pak tua
Seketika DUL kaget. Ia hanya merasa berjalan cuman sebentar dari lokasi pertunjukan wayang ke pohon beringin untuk istirahat, tapi oleh pak tua itu dibilang kecamatan sebelah?
“Ah mosok sih pak?” tanya DUL
“Sak estu ( sungguh ). Semalam saya juga nonton. Rame lho ,dik. Oh iya semalam saya juga nampak ada gerombolan santri menonton wayang. Sepertinya bukan orang daerah situ karena membawa oncor. Mungkin dari desa sebelahnya” kata pak tua.
DUL semakin kaget karena acara itu memang ada tapi dikecamatan sebelah atau sekitar 10 kilo lebih dari tempat dia berdiri sekarang. Berarti Lumbang ada di sebelahnya dong….DUL membathin.
“Nuwun sewu pak, ini dimana ya? Saya tidak kenal daerah ini” tanya DUL kebingungan
“Ini Kilensari, Panarukan”
“Oh.. panarukan kepanjen..berarti masih dekat Lumbang ya pak? Tanya DUL
“Lho. Ini Panarukan Situbondo” kata pak tua itu
“Situbondo ini ke Lumbang naik apa saja pak?” tanya DUL
“Malang Situbondo ini sekitar 200 kilo dek. Naik kendaraan bisa oper 5 kali ” kata pak tua itu
200 KILO?
“Haah 200 kilo? Jauh sekali pak. Saya ke tempat wayang itu jalan kaki kok” tanya Dul terheran-heran. Perasaan dia semalam hanya berjalan kaki dan seingatnya hanya melewati sekitar 6 atau 7 sungai.
Seketika DUL dengkulnya lemas mendengarkan penjelasan dari pak tua itu. Panarukan Situbondo?. Ratusan kilometer dari pondok pesantren nya. Kok bisa sejauh itu ya? Tanya DUL dalam hati. Masak jalan kaki sekitar 2 jam sudah 200 kilometer? Ah gak masuk akal nih….
Tiba – tiba dia merasa menyesal kenapa ia tidak mematuhi ajakan pak Kyai untuk pulang. Ia baru sadar jika semalam ini adalah pelajaran ilmu hikmah. Ia langsung terngiang – ngiang ucapan Pak Kyai beberapa waktu lalu saat pegajian kitab kuning di surau pondok.
“Santri yang kurang menta’ati dawuh kyainya bakal merasakan akibatnya. Apa akibatnya? Ya dicoba saja, pasti akan tahu.” demikian kalimat yang dia ingat –ingat
DUL seketika menangis mewek bombay setelah sadar kalau ia tersesat jauh. Seketika ramailah di warung yang berdekatan dengan pasar itu. Berita ini sampai ke Balai Desa sehingga pamong desa turut mengurus kejadian ini. DUL dibawa ke desa untuk dimintai keterangan. Pamong desa meminta keterangan pribadi dan keterangan pondok tempat ia nyantri. Yang dia tahu adalah ia mondok di pondok pesantren di desa Lumbang dengan nama Kyai nya adalah AL JON. Lumbang di kecamatan mana pun dia tidak tahu. Yang dia tahu dia tinggal di perumahan orang kaya di jalan IJEN Malang kota. Terus dia dipondokkan ke kyai AL JON. Sudah begitu saja.
DITOLONG ORANG YANG PERGI KE KOTA MALANG
Singkat cerita, DUL pulang bersama sebuah keluarga yang kebetulan akan pergi ke Kota Malang untuk sambang dulur mengabarkan akan ada hajatan mantu. Namanya saudara harus diberitahu meskipun lokasi jauh. Pada saat itu belum ada telepon, video call, email, dan macam macam platform seperti seperti akhir jaman ini.
DUL harus pulang ke IJEN bersama sebuah keluarga yang memang akan ke Malang Kota. Beruntunglah si DUL bisa pulang ke Malang. Andai kata tidak, maka ia akan merasakan akibatnya. Walaupun dia diberi uang saku untuk pulang, ia tidak ngerti cara naik angkutan umum, orang dia sehari – hari diantar oleh orang tuanya ke sekolah saat sebelum ke ponpes.
Ayah DUL jelas kaget mendengar cerita yang menimpa DUL. Mereka malu kepada Kyai, kenapa anak mereka tidak manut kepada KYAI.
“Okelah kamu kukembalikan ke pak KYAI. Dan jangan pulang sampai kamu manut kepada pak Kyai” demikian kata sang romo kepada DUL.
DUL menyanggupi permintaan ayahnya untuk manut ke pak Kyai, dan ingin membuktikan bahwa DUL juga bisa sukses menjadi pengusaha santri sukses macam ayahnya.
Setiba DUL di ponpes, teman – temannya keheranan. Kenapa kok DUL lama sekali balik ke pondok? Mereka tidak tahu permasalahan yang telah menimpa DUL.
DUL di antar sang ayah menghadap ke pak Kyai.
BAGAIMANA RASANYA TIDAK PATUH?
“Piye Le rasane ora manut( bagaimana rasanya tidak patuh)?” tanya pak Kyai kepada DUL
DUL hanya menunduk saja tidak berani menarap wajah pak Kyai. Ia malu. Malu kepada pak Kyai, kepada bapaknya, dan pada saat itu belum ada perasaan malu kepada Tuhannya.
“Saya minta maaf, Yi” ucap DUL.
Ia tetap menunduk. Ia baru tahu bahwa Kyai yang ia ikuti adalah Kyai terkenal dan memiliki macam-macam kemuliaan. Dia tidak menyangka bahwa ayahnya yang menjadi tokoh terkenal di kota Malang adalah murid dari Kyai Al JON dan sekarang ini ia juga mondok di ponpes tempat ayahnya di gembleng ilmu agama.
“Baiklah . Mulai saat ini sampeyan harus manut kepada orang ngalim, kepada ulamak dan kepada para umarok yo Lee..” pinta pak Kyai.
“Njih Yi”kata DUL
Keluar dari Ndalem, teman – teman DUL pada bertanya kenapa DUL kok lama sekali pulang dari nonton wayang. DUL menceritakan kalau ia tersesat sampai ke kecamatan sebelah tempat ia nonton wayang dan tertolong orang yang kebetulan akan ke Kota Malang. Teman – temannya banyak yang tidak percaya kalau pertunjukan wayang itu ada di panarukan situbondo, bukan panarukan kepanjen ( kab Malang ).
Dan yang lebih heran lagi, para santri saling bertanya kenapa galengan ( pematang sawah ) yang beberapa hari lalu itu pas dilewati kok seperti mau ambrol dan kenapa harus mematikan obor?
SANTRI YANG TELAH MENJADI KYAI TAHU JAWABANNYA
Ketika para santri sudah menjadi Kyai di ponpes masing- masing mereka telah menemukan jawabannya. Galengan itu ternyata seekor ular yang besar dan ditumpangi hampir 40 orang untuk pergi ke SITUBONDO lewat jalur sepi dan gelap. Entah ular jenis apa kok bisa membawa hampir 40 orang. Apa nggak merusak sawah orang –orang? Kemudian jika mereka telah melewati hutan gelap tanpa suara jangkrik dan suara kodok itu adalah mereka telah melintas di semacam “LUBANG WAKTU” yang sampai saat ini masih diperebatkan keberadaannya.Mereka lakukan pergi dan pulang. Pergi menyisakan santri yang terkilir, pulang menyisakan DUL untuk dijadikan bukti dan saksi cerita aneh ini.
ALLAH Maha Menyimpan Misteri. Wasalam.
Ditulis sambil menunggu pabrik buyar giling.
Ide cerita: Karomah Mbah Mungid Dawuhan Blitar.