FATWA MUSIK adalah COSTUMIZED (BISA DIATUR), KATA KANG SEMPRUL

Sejak kecil, saya hidup dikalangan musik. Mama saya adalah seorang biduan dangdut pada era 70-90. Di daerah Nova Semprula, mama saya cukup dikenal di kalangan pecinta dangdut.

Ketika remaja, saya sudah bisa menirukan melodi ringan tulit tulit gitaris band aliran rock. Mbah kung saya adalah pemain musik keroncong era 50-70. Nenek saya dulu penyanyi lagu jawa ( sekarang: campursari).

Sekitar tahun2000, saya pindah pegangan dari gitar ke kibot. Saat itu saya mulai pindah aliran dari musik metal ke musik gambus dan sholawatan. Dan pada 2002 saya memutuskan untuk berhenti bermain musik.

Kenapa? tiba tiba saja saya merasa bahwa memainkan musik sudah waktunya untuk berhenti. Begitu saja. Terus apakah saya berhenti sama sekali dengan alat musik? oooh tidak. Saya masih memainkan gitar milik anak saya sekedar genjrang-genjreng nggak jelas gitu, dapat 1 menit sudah. Stop. Kadang main kibot dengan style fingered hanya untuk menyanyi lagu lagu lawas, gak sampai habis terus stop. Sudah gitu aja.

loading…

musik dihukumi gimana nih

Memainkan musik itu haram, akhi Yohan! kata teman satu majelis ta’lim saya. Saya hanya tersenyum. Dia menjelaskan bahwa gini gini gini, gitu gitu gitu dan seterusnya. Saya diam saja.

Saya tanyakan kepada ustadz A, yaa ustadz, mohon pencerahannya soal memainkan alat musik ( gitar dan kibot). sang ustadz menjawab : “Haram”. Dalilnya kadza wa kadza , hadza wa hadza ( begini begitu, ini itu )…Syukron yaa ustadz.

Saya tanyakan kepada ustadz B, yaa ustadz, mohon pencerahannya soal kadza wa kadza soal yang sama. Sang ustadz B menjawab: “MAKRUH”. Dalilnya begini …ini…itu…Sukron ustadz.

Saya tanyakan kepada ustadz C, yaa ustadz, mohon pencerahannya soal kadza wa kadza soal yang sama. Sang ustadz C menjawab: “BOLEH”. Dalilnya begini …ini…itu…Sukron ustadz.

Dari 3 guru saya ini, saya tarik kesimpulan bahwa ini adalah khilafiyah. Sesuatu barang yang ada perdebatan didalamnya.

Bahkan ketika saya bertemu dengan kang Semprul, ia berkata bahwa fatwa musik itu adalah Customized! Bisa diatur. Walah ada lagi orang aneh ini. Tapi kalau saya pikir pikir, ya ada benarnya sih.

Saya jadi ingat jaman 1995 lalu saat itu saya masih memainkan alat musik dan membawakan lagu lagu Metallica, GNR, Slank, Helloween, dst sementara teman saya ada yang menyanyi lagu nasyid dari kelompok seberang, seingat saya AL ARDHI LANA WAL QUDSU LANA. Tapi kami tetap berteman. Debat secara santun sudah biasa. Akhir debat biasanya saling meminta maaf jika ada kalimat yang menyinggung perasaan.

mengingat nasyid dan fatwa penyertanya

Berikut ini saya sertakan tulisan dari pak ustadz seputar fatwa musik yang ternyata bisa di customized ini:

PERJALANAN FATWA MUSIK HARAM

Oleh : Abdi Kurnia Djohan.

Dulu pada tahun 1992, Kelompok Tarbiyah–embrio PKS–juga pernah berfatwa tentang haramnya musik. Tercatat seorang simpatisannya, AA yang dikenal sebagai mantan gitaris Band cadas mengkampanyekan gerakan anti musik. Melalui Majalah Sabili selama 3 bulan berturut-turut, kampanye anti musik disampaikan dalam berbagai bentuk, yang popular adalah opini dan sticker. Di dalam kegiatan-kegiatan tabligh akbar, para da’i tarbiyah menyampaikan pesan bahwa ada alternatif hiburan selain musik, yaitu nasyid. Maka, mulailah judul-judul nasyid seperti muwahidun ana, ghuraba dan addinu lana popular di kalangan pengikut Tarbiyah. Grup-grup nasyid pun bermunculan menjadi idola baru menggantikan band dan penyanyi ternama.

Memasuki tahun 1993, kejenuhan terhadap nasyid mulai muncul. Suara-suara koor yang menjadi mainstream hiburan rupanya dianggap kurang membangkitkan selera. Fatwa tentang alat musik yang halal pun digali, setelah sebelumnya para astadiz tarbiyah mengharamkan semua jenis alat musik. Namun sikap itu berubah, begitu grup nasyid Hamas Palestina mengintroduksi penggunaan kendang. Ritme nasyid al-Qudsu lanā, terdengar enerjik, dengan hentakan ritmis pukulan rebana. Kepala anak-anak muda tarbiyah pun mengangguk-angguk mengikuti lantunan nasyid al-Qudsu lana. Gairah jihad dan melawan Israel pun bangkit membakar “al-Qudsu lanā”, begitu teriak seorang pengurus Rohis sebuah SMA Negeri merespon ajakan vokalis utama sebuah grup nasyid.

Namun, hiburan nasyid yang lebih bernuansa kearaban itu ternyata tidak bisa menghibur hati para aktivis tarbiyah yang masih belum bisa move on dari Lionel Ricchie, New Kids on The Block, Taylor Dane, dan bahkan Madonna. Beberapa aktivis tarbiyah, kedapatan mencuri-curi kesempatan mendengarkan Electric Youth-nya Debbie Gibson meskipun baru saja mendengarkan fatwa haramnya musik dari sang murabbi.

Melihat situasi itu, sekelompok mahasiswa UI yang berasal dari Fakultas Sastra dan Fakultas ISIP menawarkan solusi kejenuhan itu. Mereka menamakan diri sebagai Senandung Nasyid dan Dakwah (SNADA). Solusi hiburan yang mereka tawarkan adalah hiburan pop tanpa alat musik, tapi serasa mendengar musik atau dinamakan acapella. Para murabbi pun agak kesulitan menyikapi tawaran hiburan dari Snada ini. Mau memberi fatwa haram, tidak ada alat musik yang dipakai. Membiarkan nasyid-nasyid SNADA dinikmati para mad’u (peserta tarbiyah), tapi seperti menikmati musik. Sebuah pilihan yang memang sulit disikapi waktu itu.

Waktu membuktikan bahwa sajian nasyid SNADA ternyata mendapat sambutan hangat dari aktivis tarbiyah. Seperti ada kerinduan yang terbayar akibat fatwa haram musik. Nasyid-nasyid SNADA banyak yang meng-copy paste irama slow pop boyband Amerika, seperti All for One, atau Peabo Bryson. Judul-judul nasyid dan lirik nasyid pun dibuat semenarik mungkin. Snada mencoba meramu materi-materi tarbiyah ke dalam sajian yang coozy menurut masanya. Sebagai contoh, tema ikhlas disajikan ke dalam syair, just giving once but you’re telling everyone you meet. Just giving once, every body has known what you did, dan seterusnya.

Dengan pendekatan yang kekinian itu, Snada mampu menjangkau penggemar dari kalangan muda di luar kelompok tarbiyah. Dan hasilnya, tidak sedikit para penggemar Majalah ANEKA, ANITA dan GADIS yang merapat mengaji ke kelompok tarbiyah.

Memasuki tahun 1994, kelompok Darul Arqam merilis genre baru nasyid. Memanfaatkan fatwa bolehnya penggunaan kendang dan rebab, nasyid-nasyid Darul Arqam mulai meramaikan penjualan kaset-kaset nasyid di Jakarta. Alunan irama orang Melayu dan diiringi pukulan rampak kendang, membuat nasyid Darul Arqam ini laksana dangdut Islami. Tentu, para mantan penggemar Rhoma Irama, Asep Irama, Meggy Z, Hamdan ATT, Mara Karma dan Mansyur S, yang telah berhijrah menjadi akhi dan ukhti serasa diajak kembali bernostalgia mendengarkan rampak nasyid grup Arqam ini.

Di perjalanan tahun 1994, sekelompok mahasiswa UI membentuk grup nasyid yang diambil dari nama Musholla di FMIPA, Izzatul Islam. Grup nasyid menawarkan genre sendiri yang merupakan campuran dari genre Arab dan Mars ala Masyumi.

Cukup lama fatwa haramnya musik tidak lagi diperdengarkan di kalangan tarbiyah. Kesibukan menghadapi transisi politik pada tahun 1998 telah menyita banyak energi. Sehingga perhatian terhadap haramnya musik perlahan dilupakan.

Pada akhir 1998, kelompok tarbiyah bertransformasi menjadi partai politik. Nama Partai Keadilan pun diambil untuk menegaskan misi politik yang diusung. Sebagian kalangan menilai penamaan itu mengikuti partai yang didirikan Nechmetin Erbakan, AKP, yang menjadi bench-mark gerakan politik.

Kehidupan politik, memaksa kelompok tarbiyah untuk mengikuti preferensi pasar politik, yaitu meraih dukungan sebanyak-banyaknya dari konstituen. Tuntutan ini dalam perkembangannya berimbas pada sikap fikih kelompok yang dulu dikenal kaku. Termasuk dalam persoalan musik.

Seperti dugaan sementara kalangan, bahwa pada satu waktu kelompok tarbiyah akan mengubah fatwanya ke arah menghalalkan musik. Dugaan itu terbukti ketika pada tahun 2001, Partai Keadilan mengadakan sebuah perhelatan di JHCC mengundang Andra and The Backbone. Jakarta pun bergemuruh. Ternyata hanya 10 tahun fatwa musik haram itu bertahan. Puncaknya pada tahun 2007, ketika perhelatan PILKADA, PKS yang merupakan kelanjutan dari PK, mengundang grup band untuk meramaikan kampanye Adang-Dani, Pasangan Cagub-Wagub yang diusung PKS.

Fatwa musik haram itu makin tenggelam. Cukup lama, fatwa haram itu hilang, kini muncul fatwa repro. Dengan dalil yang sama tapi tanpa alternatif. Kali ini fatwa haram itu dibangkitkan kelompok Salafi, yang sebagian motornya adalah para mantan aktivis tarbiyah yang kecewa terhadap PKS. Apakah fatwa musik haram akan bertahan lama ataukah bak cendawan di musim hujan? Kita lihat saja…

Wal Akhir. Musik tetap musik. Ia tidak salah. Yang salah adalah yang menghukuminya. Jika musik haram, kenapa banyak ulama di dunia menyebarkan kebaikan ajaran ini dengan musik? Jika musik itu boleh, kenapa kaum salafi mengharamkannya? Its back to you. Its up to you. Silahkan mengaji dan mengkaji.

Wassalam. Yohan Indrawijaya.

yohan Indrawijaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Post comment